Sloof kadang juga disebut dengan Tie Beam, atau Grade Beam. Semua wujudnya sama, tapi fungsi utamanya aja yang beda-beda.
Sloof adalah salah satu elemen yang penting di sebuah struktur bangunan. Sloof adalah balok yang berada di tanah, baik itu di dalam tanah, atau muncul di permukaan tanah.
Jadi, syarat wujud sloof itu adalah:
- berada di tanah, disebut juga Grade Beam (Grade = tanah yang sudah diratakan dan dipadatkan)
- menghubungkan antara satu pondasi dengan pondasi yang lain, atau
- menghubungkan antara satu sloof dengan sloof yang lain
Sloof yang menghubungkan antara satu pondasi dengan pondasi yang lain itulah yang disebut Tie Beam (balok pengikat), karena fungsinya adalah untuk memberi ikatan antar pondasi.
Fungsi Sloof
Pertama, seperti balok pada umumnya, sloof berfungsi sebagai “penerima beban” di atasnya, dan menyalurkan ke ujung-ujungnya.
Pada sistem “suspended slab” atau slab yang dicor menyatu dengan sloof, maka sloof berfungsi menyalurkan beban dari pelat (slab) ke ujung-ujung sloof, baik itu ke sloof lain, atau langsung ke pondasi.
Untuk sistem “slab on ground” atau “slab on grade” atau slab yang langsung bertumpu di atas tanah, biasanya sloof hanya memikul beban-beban tertentu saja, yang paling sering adalah dinding bata atau partisi berat lainnya.
Kedua, sloof yang menghubungkan antar pondasi, berfungsi sebagai pengikat (ties) antara satu pondasi dengan pondasi yang lain. Kenapa harus diikat? Agar posisi pondasi akan selalu relatif tetap terhadap pondasi yang lain, terutama pada arah horizontal. Karena mengikat ke arah horizontal, maka fungsi ini akan lebih terasa ketika terjadi gempa, atau beban lateral lainnya.
Saat gempa, tidak hanya struktur atas, pondasi juga ada kecenderungan untuk bergerak, apalagi kalau tanahnya sangat jelek. Jika tidak diikat, masing-masing pondasi bisa bergerak bebas ke mana-mana. Mungkin ada 1 pondasi bergeser 1 cm ke kiri, tapi pondasi di sebelahnya bergeser 0.5 cm ke kanan. Walaupun kecil, perbedaan pergeseran ini sangat besar pengaruhnya ke struktur atas. Agar pergerakannya seragam ke arah horizontal, tiap-tiap pondasi ini harus diikat oleh sloof (dalam kasus ini namanya adalah Tie Beam).
Karena harus menjaga posisi pondasi agar selalu tetap, tentu ada beban aksial (tarik dan tekan) yang harus dipikul oleh Tie Beam ini. Besarnya beban tarik yang dipikul oleh Tie Beam ini kira-kira sama dengan 5% dari beban gravitasi maksimum yang dipikul oleh pondasi di salah satu ujung sloof. Misalnya salah satu pondasi punya beban maksimum 80 ton (800 kN), maka Tie Beam-nya paling tidak harus punya tulangan yang bisa menahan tarik sebesar 0.05 x 80 = 4 ton (40 kN).
Tidak hanya saat gempa, pada kondisi tanah yang kurang stabil – misalnya lereng atau slope – sloof mempunyai fungsi yang sama, untuk mencegah potensi kerusakan yang sangat parah pada struktur atas pada saat terjadi pergeseran pada tanah.
Ketiga, tak jarang sloof ini juga “dimanfaatkan” untuk mengurangi ukuran pondasi, khusunya untuk pondasi yang didesain memikul beban momen yang cukup besar.
Momen pada pondasi bisa menyebabkan peningkatan tegangan pada tanah. Mungkin tanahnya cukup kuat waktu memikul beban gravitasi saja (tanpa momen, atau momen yang sangat kecil). Tapi, sewaktu ada beban lateral, dan memang tumpuan alias pondasi sudah didesain sebagai tumpuan jepit, adanya momen bisa menambah tegangan pada tanah, dan mungkin saja melebihi batas ijin atau bahkan batas ultimatenya.
Sloof bisa didesain untuk “menyerap” sebagian momen tersebut. Semakin besar ukuran sloof, semakin besar momen yang bisa diserap. Dan tentu saja… detail penulangannya harus benar, terutama pada bagian ujung-ujung sloof (sambungan ke dasar kolom).
Demikian sekilas mengenai fungsi sloof beton. Semoga bermanfaat!
Komentar
Posting Komentar